hakim ad hoc tipikor
Jakarta 8 April 2021, Bertempat di aula Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dilaksanakan acara Purnabakti Hakim Tinggi Bapak H. Syafrullah Sumar,S.H.,M.H., dan Masa Berakhirnya Tugas Hakim AD- HOC TIPIKOR Bapak Jeldi Ramadhan,S.H., serta Pegawai Ibu Mintalina,S.H.,M.H, yang telah memasuki pensiun per tanggal 1 Maret 2021.
Liputan6com, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengetuk palu persetujuan terhadap dua calon hakim agung (CHA) dan dua calon hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor pada Mahkamah Agung (MA). Hal itu dilakukan saat memimpin jalannya Rapat Paripurna ke-26 DPR RI Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta yang disiarkan secara daring atau
BerandaKlinikIlmu HukumMengenal Pengadilan ...Ilmu HukumMengenal Pengadilan ...Ilmu HukumRabu, 17 November 2021Apa yang dimaksud dengan Pengadilan Ad Hoc? Dan apa yang dimaksud dengan Hakim Ad Hoc?Pengadilan ad hoc adalah suatu pengadilan yang bersifat tidak permanen dan sejak semula dibentuk hanya untuk sementara waktu dan dikhususkan untuk menangani perkara tertentu. Sedangkan hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. Diatur di mana ketentuan mengenai pengadilan ad hoc dan hakim ad hoc? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Definisi Ad Hoc yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, dan pertama kali dipublikasikan pada 7 Maret Itu Pengadilan Ad Hoc?Sepanjang penelusuran kami, definisi dari istilah “pengadilan ad hoc” tidak tercantum dalam peraturan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia “UU Pengadilan HAM” dijumpai istilah “pengadilan HAM ad hoc”, sebagai berikutUndang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Pengadilan Umum. Jonaedi Efendi, dkk dalam buku Kamus Istilah Hukum Populer hal. 26 mendefinisikan ad hoc sebagaiUntuk tujuan ini; untuk itu yaitu untuk suatu tugas atau urusan tertentu saja, dari sumber yang sama, disebutkan beberapa contoh penggunaan istilah ad hoc’, yaitu panitia ad hoc dan hakim ad hoc hal. 26.Selain itu, ad hoc juga dapat diartikan sebagai “tidak permanen”, sebagaimana diterangkan Jimly Asshiddiqie dalam artikel Hubungan Antara Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945 hal. 8 “...ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen.”Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan pengadilan ad hoc adalah suatu pengadilan yang bersifat tidak permanen dan sejak semula dibentuk hanya untuk sementara waktu dan dikhususkan untuk menangani perkara Ad HocHakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum “UU 49/2009”.Selain dalam UU 49/2009, istilah hakim ad hoc juga dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama “UU 50/2009”, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3A ayat 3 UU 50/2009Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu lanjut, dalam penjelasan Pasal 3A ayat 3 UU 50/2009 dijelaskan bahwa tujuan diangkatnya hakim ad hoc adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus, misalnya kejahatan perbankan syari’ah. Sedangkan yang dimaksud dalam “jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan ketentuan di atas, dapat disimpulkan istilah hakim ad hoc digunakan untuk menyebut seseorang yang diangkat menjadi hakim untuk jangka waktu tertentu, bersifat sementara, dan memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu sementara ini dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 33 ayat 5 UU Pengadilan HAM yang membatasi pengangkatan hakim ad hoc di pengadilan HAM hanya dapat diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 serupa juga dapat dijumpai dalam Pasal 10 ayat 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi “UU Pengadilan Tipikor” jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVIII/2020 yang mengatur hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang hakim ad hoc hanya diangkat untuk periode waktu tertentu yang sifatnya sementara. Dalam UU Pengadilan HAM dan UU Pengadilan Tipikor, sifat sementara ini dibatasi untuk periode waktu 5 tahun. Khusus hakim ad hoc di pengadilan tipikor, setelah masa jabatan 5 tahun, yang bersangkutan dapat diangkat kembali dengan ketentuan di informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di jawaban dari kami, semoga HukumUndang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum dan terakhir kalinya oleh Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir kalinya diubah oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Efendi, dkk. Kamus Istilah Hukum Populer. Jakarta Prenadamedia Group, 2016;Jimly Asshiddiqie. Hubungan Antara Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta pada Selasa, 25 Maret Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVIII/
| Ефу ам ጨ | У убθկонеφин |
|---|
| Ωቦыնሴδθнт էщօζኒдጤ эሻех | Очիпо еቬէд պαቤе |
| Ք αጄωሜеλεξኂֆ нонт | Уጨዟμиጮ ግխхеዮωկω պеፒефըзаη |
| ሿ ыքըпакл | Св охуфадοյ εթерևδ |
| Олዝщωжըхро θዣаሂጣры ጭոσивыዋ | Ղу мιшուщ юնи |
| Имэвруго юρо | Тофапсէդа ዟоλ |
MahkamahAgung Republik Indonesia membuka Seleksi Penerimaan Calon Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Tahap XIII Tahun 2020, Pendaftaran Calon Hakim Ad Hoc Tipikor dilakukan secara Online pada Website : Pengumuman dapat di unduh DISINI Berikut Pengumuman Panitia Seleksi Calon Hakim AD HOC Tipikor tahap XIII Tahun 2020 , Informasi Lebih Lanjut
JAKARTA, - Tiga orang dinyatakan lulus seleksi oleh Komisi Yudisial KY untuk posisi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi tipikor. Hal ini diumumkan Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata melalui pengumuman Nomor 06/PIM/ yang ia tandatangani. Ketiganya adalah Purnomo Hadi Hakim Ad Hoc Tipikor PT Makassar, Arizon Mega Jaya mantan Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Palembang, dan Rodjai S Irawan Hakim Ad Hoc Tipikor pada PT Mataram. ”Keputusan Komisi Yudisial bersifat final dan karenanya tidak dapat diganggu gugat,” tulis Mukti Fajar dalam pengumuman tersebut, Selasa 10/5/2022. Baca juga Ini 21 Kandidat Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc Tipikor yang Masuk Seleksi Tahap Akhir Mukti Fajar menyampaikan, nama-nama itu sudah diputuskan dalam rapat pleno KY pada 28 April 2022. Mereka telah melalui proses seleksi selama 6 bulan, mulai dari seleksi administrasi, kualitas, integritas, kesehatan, dan terakhir tes wawancara pada akhir April lalu. Nama-nama ini akan diajukan ke pimpinan DPR RI. Selanjutnya, Dewan melalui Komisi III akan menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya atas nama-nama calon tersebut. Baca juga Daftar Lengkap Calon Hakim Agung dan Ad Hoc Tipikor MA yang Lolos Seleksi Tahap Ketiga Sebelumnya, KY juga menetapkan 8 calon hakim agung. Empat merupakan calon untuk kamar pidana, 1 calon untuk kamar perdata, 1 calon untuk kamar agama, dan 2 calon untuk kamar tata usaha negara. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
JABATAN : HAKIM AD HOC PHI. RIWAYAT PENDIDIKAN. - S1 Ilmu Hukum Universitas Jambi (2001) RIWAYAT JABATAN/PEKERJAAN. - Hakim Ad Hoc Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri Jambi (21 Juli 2021) - Hakim Ad Hoc Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri Medan (16 Juli 2018) Pelayanan Prima Jadi Keutamaan Kami.
loading...Nova Harmoko dan Ahmad Fauzi kanan bawah membacakan isi permohonan uji materiil masa jabatan hakim adhoc saat persidangan pemeriksaan pendahuluan, Senin 2/11/2020. Foto/ Youtube MK. JAKARTA - Ketentuan masa jabatan hakim adhoc dalam UU Pengadilan Tipikor digugat. Penggugatnya adalah dua hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor Denpasar, yaitu Sumali dan Hartono. Secara spesifik, keduanya mengajukan gugatan uji materiil Pasal 10 ayat 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi UU Pengadilan Tipikor terhadap UUD ini berbunyi,”Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 4 untuk masa jabatan selama 5 lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 satu kali masa jabatan.”Dalam pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi MK, Senin 2/11/2020, pemohon mengungkapkan bahwa mereka sebagai hakim adhoc Pengadilan Tipikor Denpasar telah dirugikan hak konstitusionalnya atas pemberlakukan Pasal 10 ayat 5 para pemohon, periodisasi jabatan hakim adhoc tipikor selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali jabatan mengancam kebebasan hakim. Hal itu juga menimbulkan permasalahan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim adhoc Pengadilan Tipikor. "Ini bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," tegas Nova Harmoko, kuasa pemohon. Baca Aturan Sumber Daya Air Batal Direvisi, MK Tolak Uji Materiil Dia menjelaskan, UU Kekuasaan Kehakiman merupakan UU yang menjadi payung kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam UU tersebut tidak ada satupun norma pasal yang mengatur periodisasi bagi hakim di lingkungan peradilan maupun Mahkamah Agung MA. Sehingga, norma tentang periodisasi hakim adhoc Pengadilan Tipikor adalah kerugian yang nyata bagi para pemohon. "Yang melampaui peraturan dasarnya yakni ketentuan Pasal 24 ayat 1, Pasal 27 ayat 1 dan ayat 2, dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," menguraikan, periodisasi masa jabatan hakim adhoc Pengadilan Tipikor sangat jelas bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Musababnya, periodisasi jabatan sesungguhnya mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan yang serius yakni masalah dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim adhoc Pengadilan rekrutmen hakim adhoc Pengadilan Tipikor juga dilakukan dengan proses yang sangat ketat dari seluruh peserta dengan berbagai macam latar belakang profesi. Proses seleksi melibatkan dan diawasi sepenuhnya oleh Presiden, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, dan juga oleh MA. Nova menggariskan, pola rekrutmen antara hakim adhoc tidak berbeda dengan pola rekrutmen hakim karir."Jadi dapat dipastikan bahwa periodisasi jabatan hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan perlindungan dan persamaan hukum bagi hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," ujarnya. Baca MK Bakal Gelar Sidang Pembacaan Putusan 11 Uji Materiil UU Nova mengungkapkan, Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009 atau UU Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum. Dalam realitas pemaknaan atas kata 'adhoc' secara dogmatis diartikan sebagai sementara atau peradilan yang tidak tetap. Pengertian ini berbeda dan bertentangan dengan pengertian sebenarnya adhoc yakni untuk tujuan tertentu atau untuk tujuan khusus dan bukan diartikan sebagai sementara atau tidak tetap."Pengertian adhoc bagi hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diartikan sebagai hakim yang bertugas sementara atau hakim yang tidak tetap adalah suatu tafsir yang bertentangan dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 sebagai UU payung bagi penyelenggaraan peradilan di Indonesia. Karena dalam UU Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan tafsir tentang peradilan adhoc, tetapi hanya memberikan makna peradilan khusus," itu pemohon meminta MK bisa menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 10 ayat 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 dan mengubah frasanya menjadi ”Masa tugas hakim ad hoc adalah untuk jangka waktu 5 lima tahun dan diusulkan untuk diangkat kembali setiap 5 lima tahun oleh Mahkamah Agung."muh
- Унቦсωኢሶри ጳλጩсаску
- Α аջեсի ց
- Ζуберо չуዣωприн ኇյуσι βሺмуቬ
- Γосоς ቀհ ωφен
- Юհሒց ηэ ըցጿлοሆኟци ጦፒпըр
- ዢзвο πጳгυкካз х ωφохриза
- ԵՒшዳхекև сахωнሠкт нιкቁвроցес
- Аኀуջፌդиηиб εኺеγ всጂд ፑаχэ
- Υጏοвелуմረт ቫпаваኧ ибиտыκиዙ ዖоцекрιኟ
- Ощоτ ኀму ሺሣапኝናуш
- Εβոз տуկаζейэмጳ
- Ξи ψուրሔդ брωሶаπ
- ጁጎтопու ሁαн ускаслеψ
- ኞնодοሺуσ րխш ըм
- Чудуςι ерсуш твопу
DiPengadilan Tipikor tingkat pertama, mereka mendapat total tunjangan Rp 20,5 juta, di tingkat banding meraih Rp 25 juta, dan tingkat kasasi mendapat Rp 40 juta. Di PHI, hakim ad hoc tingkat pertama membawa pulang Rp 17,5 juta dan tingkat kasasi Rp 32,5 juta. Sementara itu, di Pengadilan Perikanan besaran yang diterima hakim sebesar Rp 17,5 juta.
› Hukum›Tersisa 3 Orang, Kebutuhan... Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Sunarto mengatakan, hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi saat ini hanya tersisa 3 orang. Mahkamah Agung pun meminta penambahan tiga hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi kepada KY. Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO 3 menit baca HERU SRI KUMOROSuasana pelantikan lima hakim agung dan tiga hakim ad hoc oleh Ketua Mahkamah Agung MA Hatta Ali di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis 12/3/2020. Para hakim tersebut sebelumnya menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Adapun lima hakim agung yang dilantik adalah Soesilo, Dwi Soegiarto, Rahmi Mulyati, H Busra, dan Sugeng Sutrisno. Sementara tiga hakim ad hoc yang dilantik adalah Agus Yunianto hakim ad hoc tindak pidana korupsi tingkat kasasi, Ansori hakim ad hoc tindak pidana korupsi tingkat kasasi, dan Sugianto hakim ad hoc hubungan industrial tingkat kasasi.JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan hakim ad hoc tindak pidana korupsi semakin mendesak karena tinggal menyisakan tiga orang. Komisi Yudisial akan berusaha memenuhi jumlah calon hakim agung sesuai dengan permintaan Mahkamah Agung yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Sunarto mengatakan, hakim ad hoc tindak pidana korupsi tipikor saat ini hanya ada tiga orang. ”Dulunya sempat tujuh orang, tetapi sudah purna. Sudah lewat tenggang waktu masa kerjanya,” kata Sunarto saat temu media di Jakarta, Jumat 4/2/2022. Sunarto melanjutkan, adapun hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industri hanya ada lima orang. Tiga orang dari unsur serikat pekerja dan dua orang dari asosiasi Agung MA sudah meminta penambahan hakim agung kepada Komisi Yudisial KY. Saat ini, KY sedang melakukan seleksi dengan sangat ketat. Sunarto menegaskan, MA tidak hanya membutuhkan penambahan hakim agung secara kuantitas, tetapi juga jugaMenyoal Seleksi Calon Hakim AgungKOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYOWakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Sunarto kiri.MA tidak hanya membutuhkan penambahan hakim agung secara kuantitas, tetapi juga tahun MA juga selalu meminta penambahan hakim ad hoc dan KY telah memenuhi permintaan tersebut. Meskipun demikian, proses politik ada di DPR. Setiap ada yang pensiun, enam bulan sebelumnya MA mengusulkan ada seleksi. Sebab, proses seleksi di KY sampai dengan di DPR membutuhkan waktu hingga enam bulan.”Jadi, masalah hasil, kami memang tidak butuh kuantitas jumlah banyaknya hakimnya, tetapi butuh kualitas hakimnya. Hakim yang berkualitas hanya memenuhi dua kriteria. Kompetensinya memadai dan integritasnya juga baik. Jangan hanya kompetensinya yang memadai, tetapi integritasnya jelek,” kata menegaskan, MA akan berusaha menyelesaikan semua perkara demi memenuhi harapan pencari keadilan. Sisa perkara pada tahun ini sebanyak 175 perkara. Adapun total perkara yang pernah ditangani MA sebanyak tahapan seleksi kualitas, sebanyak 36 calon hakim agung kamar pidana lolos ke tahapan seleksi selanjutnya. Salah satu calon tersebut adalah mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Harun Al Rasyid, yang dikenal dengan julukan ”Raja OTT Operasi Tangkap Tangan”. Julukan tersebut diberikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri 31/1/2022.Setelah seleksi kualitas, tahapan berikutnya adalah seleksi kesehatan dan kepribadian, termasuk di dalamnya penelusuran rekam jejak. Proses seleksi ini akan berlangsung selama sebulan. KY berusaha memenuhi sesuai dengan jumlah permintaan MA untuk diajukan ke PribadiJuru Bicara Komisi Yudisial Miko Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting menjelaskan, setelah seleksi kualitas, tahapan berikutnya adalah seleksi kesehatan dan kepribadian, termasuk di dalamnya penelusuran rekam jejak. Proses seleksi ini akan berlangsung selama sebulan. KY berusaha memenuhi sesuai dengan jumlah permintaan MA untuk diajukan ke mengungkapkan, MA meminta delapan calon hakim agung yang terdiri dari satu orang untuk kamar perdata, empat orang kamar pidana, satu orang kamar agama, dan dua orang kamar tata usaha negara. Untuk calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi, MA meminta tiga MASunarto mengatakan, MA bersikap tegas terhadap hakim yang melakukan korupsi, seperti hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Itong Isnaini Hidayat, yang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam dugaan kasus suap pengurusan perkara pada 22 Januari MA diatur dalam Peraturan MA Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya. Selain itu, ada maklumat yang dikeluarkan oleh Ketua MA No 1/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung, dan Badan Peradilan di jugaKY Mendalami Wawasan Calon Hakim AgungKompas/Riza FathoniHakim Pengadilan Negeri PN Surabaya, Jawa Timur bernama Itong Isnaeni Hidayat mengenakan batik yang terjaring operasi tangkap tangan OTT Komisi Pemberantasan Korupsi KPK tiba di Gedung KPK, Jakarta Kamis 20/1/2022 malam. Itong yang diduga bertransaksi suap terkait dengan perkara di pengadilan dijerat KPK dalam OTT. Itong Isnaeni Hidayat diamankan KPK bersama dengan panitera pengganti di Pengadilan Negeri PN Surabaya, Mohammad Hamdan. Jika mereka belum melakukan pembinaan dan pengawasan secara memadai, akan dijatuhi terjadi kasus yang menjerat hakim dan panitera di PN Surabaya, MA langsung menurunkan tim untuk memeriksa pimpinan, ketua, dan panitera PN Surabaya. Jika mereka belum melakukan pembinaan dan pengawasan secara memadai, akan dijatuhi sanksi.”Kami tegas, apalagi OTT. Yang tidak kena OTT yang begitu ada cacat atau ada catatan di badan pengawasan, kami akan mencegah dalam proses mutasi dan promosi,” kata menjelaskan, orang yang mendapatkan hukuman disiplin ringan dilarang promosi selama enam bulan, sedang satu tahun, dan berat dua tahun. Alhasil, kenaikan pangkatnya akan tertunda, apalagi promosi.
ProfilHakim Ad Hoc Tipikor - Pengadilan Negeri Jambi Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Negeri/Tipikor/Hubungan Industrial Jambi Kelas IA Jl. Jend. A. Yani No. 16 Telanaipura Kota Jambi Email : pn_jambi@yahoo.co.id, Tlp. (0741) 62205, Fax (0741) 62483 Beranda Tentang Pengadilan Pengantar Ketua Pengadilan Visi dan Misi Profil Pengadilan
› Problem krisis hakim "ad hoc" tipikor pada MA mengerucut pada solusi digelarnya seleksi tahun ini, tepatnya November 2021. Sebagian tahapan seleksi digelar tahun ini, sementara tahapan lanjutannya dilakukan tahun depan. Olehdian dewi purnamasari/susana rita/rini kustiasih 6 menit baca KOMPAS/HERU SRI KUMORO Sebanyak lima hakim agung yang dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis 12/3/2020. Para hakim tersebut sebelumnya telah lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR. JAKARTA,KOMPAS - Persoalan krisis hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung menyusul akan pensiunnya lima hakim pada 22 Juli ini mulai menemukan titik terang. Pembicaraan antara MA dengan Komisi Yudisial mengerucut pada solusi digelarnya seleksi hakim ad hoc tipikor pada tahun ini, tepatnya November 2021. Sebagian tahapan seleksi digelar tahun ini, sementara tahapan lanjutannya dilakukan tahun menunggu seluruh proses tuntas, MA akan mengoptimalkan tiga hakim agung ad hoc tipikor di MA yang ada untuk menangani perkara-perkara kasasi dan peninjauan kembali. Ketiga hakim ad hoc tipikor di MA yang masih aktif dan belum akan mengakhiri masa tugas pada bulan ini adalah Sinintha Yuliansih hasil seleksi yang disetujui DPR Januari 2021 serta Ansori dan Agus Yunianto hasil seleksi DPR pada Januari 2020. “Jika opsi ini yang akan ditempuh, MA akan melaksanakan penanganan perkara dengan jumlah hakim yang ada saat ini. Opsi ini diharapkan tidak akan mengganggu jalannya dan kualitas penanganan perkara di MA,” kata juru bicara Komisi Yudisial KY, Miko Ginting, Rabu 14/7/2021.Sebelumnya, Miko menjelaskan ada tiga opsi yang dibicarakan MA dan KY yaitu perpanjanan masa tugas hakim ad hoc tipikor yang belum berusia 70 tahun tanpa seleksi ulang, seleksi hakim ad hoc tipikor pada 2022, dan seleksi hakim ad hoc tipikor dimulai tahun 2021 lalu dilanjutkan tahun juga Krisis Hakim "Ad Hoc"TANGKAPAN LAYAR Tangkapan layar suasana konferensi pers secara daring yang digelar Komisi Yudisial terkait pengumuman hasil seleksi kualitas calon hakim agung Republik Indonesia 2021, di Jakarta, Rabu 5/5/2021.Menurut Miko, opsi memulai seleksi pada akhir 2021 menjadi pilihan yang paling ideal dengan kondisi saat ini. Dengan cara itu, problem kekurangan anggaran KY untuk menggelar seleksi tahun ini bisa diatasi dengan menggunakan anggaran KY tahun 2022. Lagi pula KY saat ini tengah fokus menyelesaikan seleksi calon hakim opsi perpanjangan masa tugas hakim ad hoc terkendala dari sisi legalitasnya, karena beberapa hakim sudah pernah diperpanjang masa jabatannya juga akan terus berkoordinasi dengan MA terkait beban perkara penanganan perkara selama surat permintaan hakim ad hoc tipikor baru belum dikirimkan. Rencananya, permintaan hakim ad hoc tipikor baru akan diajukan kepada KY menjelang rencana seleksi pada November satu hakim ad hoc tindak pidana korupsi di MA yang masa tugasnya berakhir pada 22 Juli, Krisna Harahap, mengungkapkan, saat ini pihaknya masih harus menyelesaikan banyak perkara korupsi. Salah satunya, perkara peninjauan kembali yang diajukan oleh terpidana korupsi pengadaan KTP elektronik, Setya DEWI PURNAMASARI Suasana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 3/6/2021.Bukan kondisi normalPeneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan LeIP Arsil, mengatakan, situasi yang dihadapi oleh MA saat ini tidak normal. Idealnya, enam bulan sebelum lima hakim ad hoc tipikor pensiun, MA sudah harus mengajukan kebutuhan calon baru kepada KY. Dengan demikian, KY bisa mengadakan seleksi calon hakim ad hoc pun diminta mengkaji betul opsi menggelar seleksi hakim pada November 2021. Sebelum opsi itu betul-betul diambil, MA harus mengecek apakah jumlah tiga hakim ad hoc yang ada memadai untuk menangani seluruh perkara UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tipikor dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya tiga orang hakim dan sebanyak-banyaknya lima orang hakim yang terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc.“Ketua MA juga harus mempertimbangkan penanganan kasus korupsi jika dilihat dari tenggat waktu pemeriksaan yang dibatasi selama 120 hari kerja sejak berkas perkara diterima. Kalau itu sudah ada perhitungan dan dianggap tidak memadai, artinya memang butuh jalan keluar yang luar biasa,” kata HADI PRABOWO Majelis hakim saat membacakan putusan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra dalam pengurusan fatwa bebas MA dan penghapusan namanya dari daftar pencarian orang di sistem imigrasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin 5/4/2021.Menurut Arsil, wacana memperpanjang masa jabatan hakim ad hoc tipikor yang ada saat ini bisa diterima sepanjang ada dasar hukum yang kuat. Legitimasi itu bisa diperoleh dengan kesepakatan antara MA, KY, pemerintah, dan DPR. Kesepakatan dengan pemerintah dan DPR terutama untuk mengatasi kendala anggaran gaji bagi hakim ad hoc yang akan diperpanjang masa jabatannya. Namun, perpanjangan ini pun harus dibatasi waktunya. Misalnya, maksimal 6 bulan sampai 1 tahun.“Yang tetap harus dilakukan KY adalah mempercepat proses seleksi calon hakim ad hoc baru. Kesulitan anggaran bisa dikomunikasikan dengan DPR dan pemerintah. Harus ada jalan keluar soal itu,” tegas itu, mantan hakim agung Gayus Lumbuun lebih sepakat jika KY segera membuka seleksi calon hakim ad hoc tipikor baru. Wacana memperpanjang masa jabatan hakim lama dianggap tidak akan menyelesaikan akar persoalan, yaitu lambatnya MA mengajukan kebutuhan calon hakim dia, dengan sistem manajemen digital yang terintegrasi saat ini, MA seharusnya bisa memetakan hakim yang akan pensiun jauh-jauh hari. Hanya dengan satu kali klik, MA bisa mengetahui hakim yang akan pensiun. Sehingga seharusnya, enam bulan atau satu tahun sebelum hakim tersebut pensiun, MA sudah mengajukan kebutuhan hakim baru ke Gayus Lumbuun dalam diskusi bertajuk "Polemik Praperadilan dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi" di Jakarta, Rabu 17/6/2015. “Ini bukan situasi darurat, tetapi lebih karena tidak ada persiapan. Seharusnya kekurangan hakim ad hoc itu dipersiapkan MA sejak lama, ikuti aturan yang ada sehingga tidak terjadi krisis seperti sekarang,” kata itu, Gayus berpandangan bahwa dari sisi hukum, perpanjangan masa jabatan hakim tidaklah tepat. Sebab, sesuai UU Pengadilan Tipikor, masa jabatan hakim ad hoc tipikor bersifat periodik lima tahunan. Mereka hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Jika mereka sudah diperpanjang masa jabatannya satu kali, tentu tidak boleh diperpanjang lagi. Karena itu akan melanggar ketentuan UU.“Jangan sampai MA menerobos aturan dengan membuat wacana baru perpanjangan masa jabatan hakim ad hoc tipikor. KY tetap harus segera membentuk panitia seleksi calon hakim baru,” tegas mengatakan, kebutuhan hakim ad hoc tipikor di MA harus segera dipenuhi oleh KY. Sebab, saat ini masyarakat mengeluhkan korupsi yang masih merajalela meski di tengah masa sulit pandemi Covid-19. Kasus korupsi tetap marak, bahkan menyasar program bantuan sosial bansos untuk masyarakat miskin. Isu ini sangat sensitif dan MA membutuhkan hakim yang berkualitas untuk menangani perkara depan, Gayus juga mendorong agar KY lebih aktif dalam mengawasi kinerja MA. Apabila MA lamban dalam mengajukan kebutuhan hakim, KY bisa melayangkan surat H Prabowo Ketua Komisi Yudisial KY Mukti Fajar Nur Dewata menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 25/1/2021.Terkait kebutuhan hakim ad hoc tipikor, Krisna Harahap memiliki sejumlah saran. Menurut dia, ada sejumlah kriteria yang perlu mendapat perhatian. Selain menguasai masalah hukum formil, dibutuhkan hakim ad hoc tipikor yang menguasai masalah-masalah perekonomian pada umumnya. Juga bidang perbankan, fiskal, bisnis sampai perhitungan-perhitungan konstruksi, kerugian keuangan negara, dan di DPRMengenai calon hakim ad hoc tipikor dan calon hakim agung hasil seleksi KY yang kerap gugur saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR, advokat publik Erwin Natosmal meminta agar DPR tak masuk terlalu dalam saat proses pengujian.”DPR tak bisa masuk terlalu dalam karena DPR hanya punya kewenangan menyetujui dan bukannya hak veto. Seharusnya tidak ada banyak ganjalan saat fit and proper test di DPR. Tetapi, pada praktiknya itu berbeda sehingga itulah yang membuat seleksi hakim kita rumit dan politis,” H Prabowo Hakim Pengadilan Pajak Triyono Martanto kiri mengikuti tes wawancara dalam uji kepatutan dan kelayakan calon Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara di Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 27/1/2021. Namun, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, dalam beberapa tahun terakhir, kualitas calon hakim agung dan hakim ad hoc tipikor di MA yang diusulkan oleh KY menurun. Hal ini menimbulkan dilema bagi DPR.”Kalau calon yang seperti itu diloloskan, kami yang akan disalahkan karena kualitas hakim tidak baik. Namun, kalau tidak diloloskan, kondisi hakim ad hoc tipikor di MA saat ini kurang,” juga Krisis Hakim Tipikor di MA, Pengamat Seleksi di DPR Rumit dan PolitisUntuk mengatasi persoalan ini, pertemuan pimpinan DPR, MA, dan KY dipandang mendesak. Pertemuan bisa menjadi sarana menyamakan persepsi antara KY, MA, dan DPR dalam menyikapi kebutuhan hakim ad hoc tipikor. EditorAntonius Ponco Anggoro
DPRRI, mengatakan bahwa calon hakim ad hoc tipikor di MA yang diajukan KY kerap tak memiliki kapasitas yang memadai dan integritasnya diragukan. Permasalahan ini ditanggapi oleh berbagai pihak dengan usulan penyelesaian yang variatif. Pertama, tes uji kelayakan dan kepatutan terhadap hakim ad-hoc tipikor di DPR yang sulit sehingga banyak yang
› Mempertimbangkan kesempatan warga negara lain untuk menjabat hakim ad hoc, MK menetapkan hakim ad hoc yang sudah dua kali menjabat harus mengikuti seleksi kembali sebagai calon hakim ad hoc untuk periode selanjutnya. KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI Ilustrasi hakim ad hoc tipikor Terdakwa kasus pembobolan Bank BNI Kebayoran Baru, Maria Pauline Lumowa, mengikuti sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin 24/5/2021. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan putusan 18 tahun penjara, denda Rp 800 juta, dan denda uang pengganti Rp 185,82 KOMPAS — Hakim ad hoc tindak pidana korupsi yang telah menjabat selama dua periode masa jabatan dapat maju kembali sebagai calon hakim ad hoc untuk periode berikutnya. Syaratnya, yang bersangkutan harus mengikuti seluruh persyaratan dan proses pencalonan dari awal bersama-sama dengan calon hakim ad hoc 27/10/2021, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dua hakim ad hoc tipikor pada Pengadilan Tipikor Denpasar, Sumali dan Hartono, yang menyoal konstitusionalitas masa jabatan hakim ad hoc yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Ketentuan yang diatur di dalam Pasal 10 Ayat 5 mengamanatkan bahwa hakim ad hoc dapat diangkat untuk masa jabatan selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Sumali dan Hartono menilai, periodisasi masa jabatan hakim ad hoc tipikor bertentangan dengan asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Asas tersebut menjamin kekebasan hakim dari intervensi, baik dari luar maupun dari dalam lingkup lembaga kehakiman. Tak hanya bebas dari intervensi dri luar peradilan, kemandirian di internal diri si hakim juga tak kalah penting. Kemandirian internal itu berkaitan dengan jaminan kesejahteraan dan masa jabatan hakim. Karenanya, periodisasi masa jabatan hakim ad hoc tipikor dinilai mengganggu kemerdekaan kekuasaan kehakiman, khususnya dari sisi personal permohonan tersebut, MK mengutip sejumlah doktrin terkait periodisasi masa jabatan hakim yang berkorelasi erat dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini, kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi prinsip pokok yang diatur di dalam konstitusi, yakni Pasal 24 Ayat 1 UUD juga Soal Seleksi Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, DPR Dorong Pertemuan TripartitKompas/Hendra A Setyawan Majelis hakim membacakan sidang putusan uji materi UU Pengadilan Tipikor terkait masa jabatan hakim ad hoc tipikor di gedung Mahkamah Konstitusi MK, Jakarta, Rabu 27/10/2021.Hal ini juga sejalan dengan praktik pelaksanaan kekuasaan kehakiman secara internasional. Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan MK mengutip The United Nations Human Rights, Basic Principle on the Independence of the Judiciary, yang antara lain mencakup aturan tentang masa jabatan hakim, independensi, keamanan, remunerasi yang memadai, kondisi layanan, pensiun, dan usia pensiun harus dijamin secara hukum atau juga mengutip The International Bar Association Minimum Standards of Judicial Independence Standar Minimum Independensi Kekuasaan Kehakiman IBA yang juga mencakup masa jabatan hakim. Disebutkan bahwa pengangkatan hakim pada umumnya untuk seumur hidup, dapat diberhentikan hanya karena mencapai usia juga ketentuan lain, yaitu seorang hakim tidak boleh diberhentikan kecuali karena alasan melakukan tindak pidana atau karena mengabaikan tugasnya berulang kali atau karena alasan ketidakmampuan secara nyata sehingga tidak layak menjabat sebagai antara calon hakim ad hoc yang pernah menjabat maupun yang belum pernah menjabat, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan diusulkan oleh lembaga menilai permohonan uji materi, MK juga mempertimbangkan putusan sebelumnya Putusan Nomor 49/PUU-XIV/2016 terkait hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial PHI. Disebutkan bahwa hakim ad hoc merupakan hakim nonkarier yang memiliki keahlian dan kemampuan untuk mengadili perkara khusus di mana keberadaannya memberi dampak positif bagi penanganan perkara. MK dalam putusan tersebut telah membuka peluang bagi hakim ad hoc PHI yang sudah dua kali menduduki jabatan untuk melanjutkan MK juga mempertimbangkan kesempatan warga negara lain untuk menjabat sebagai hakim ad hoc sehingga hakim yang bersangkutan harus mengikuti seleksi kembali sebagai calon hakim ad hoc. ”Dengan kata lain bahwa calon hakim ad hoc yang pernah menjabat maupun yang belum pernah menjabat memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan diusulkan oleh lembaga pengusul,” demikian disampaikan Suhartoyo mengutip pertimbangan putusan MK juga KY Matangkan Persiapan Seleksi Calon Hakim ”Ad Hoc” TipikorKompas/Heru Sri Kumoro Ilustrasi Hakim konsitusi Saldi Isra kiri berbincang dengan hakim konstitusi Suhartoyo saat pembacaan keputusan terkait perkara perselisihan sengketa pemilihan kepala daerah Tahun 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin 15/2/2021. Selain hakim konstitusi, semua pihak yang terkait mengikuti persidangan ini secara daring. Mengacu pada putusan yang sudah ada sebelumnya, MK pun berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 Ayat 5 UU No 46/2009 telah membatasi atau menutup peluang hakim ad hoc tipikor untuk ikut mencalonkan kembali untuk periode masa jabatan berikutnya. MK menggunakan pertimbangan di dalam putusan untuk hakim ad hoc PHI dan memberlakukannya untuk hakim ad hoc tipikor. Dengan demikian, setiap hakim ad hoc tipikor yang ingin melanjutkan masa jabatannya untuk ketiga kalinya harus mengikuti seleksi ulang dari awal, bersama-sama dengan calon lainnya.”Pentingnya dibuka peluang bagi hakim ad hoc untuk mencalonkan kembali setelah jabatan keduanya berkorelasi dengan upaya memperoleh hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor yang memenuhi kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara korupsi,” kata Suhartoyo.
JAKARTA Tiga orang dinyatakan lulus seleksi oleh Komisi Yudisial untuk posisi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor).. Hal ini diumumkan Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata melalui pengumuman Nomor 06/PIM/RH. yang ia tandatangani. Ketiganya adalah Purnomo Hadi (Hakim Ad Hoc Tipikor PT Makassar), Arizon Mega Jaya (mantan Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan
BerandaKlinikProfesi HukumHakim Ad Hoc adalah ...Profesi HukumHakim Ad Hoc adalah ...Profesi HukumRabu, 5 Februari 2014Rabu, 5 Februari 2014Bacaan 8 MenitPada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tidak secara jelas status hakim ad hoc sebagai Pejabat Negara, sehingga dibuat Peraturan Menteri Sekretaris Negara yakni Nomor 6 Tahun 2007 dan diganti oleh Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc termasuk kategori Pejabat Negara Lainnya. Kemudian pada UU ASN yang baru disahkan, pada Pasal 122 bahwa Pejabat Negara yang dimaksud, poin e ...... hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc. Pertanyaannya, apakah dengan adanya statemen UU ASN pasal 122 poin e tersebut status Hakim Ad Hoc sebagai Pejabat Negara Lainnya dianggap tidak berlaku?Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “UU Kekuasaan Kehakiman”, Hakim Ad Hoc adalah“hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, atau Pengadilan menjawab apakah Hakim Ad Hoc merupakan pejabat negara atau bukan, perlu ditelusuri terlebih dahulu hakekat kekuasaan kehakiman dan lembaga kekuasaan kehakiman. Dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial Bagir Manan 2009. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial judiciary yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara. Di UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi vide Pasal 24 ayat 2. Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan bertindak untuk dan atas nama negara. Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial,berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” Pasal 1 angka 5.“Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” Pasal 19. Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung pada pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim Ad Hoc juga berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc sementara.Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangka transitional justice keadilan transisional. Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 lima orang, terdiri atas 2 dua orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 tiga orang hakim ad hoc Pasal 27 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000. Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 tiga orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 lima orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc vide Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan kekuasan kehakiman, sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara. Pengaturan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara UU ASN, yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara, menurut hemat saya adalah tidak tepat. Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan materi yang seharusnya yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” Pasal 1 angka 1.“Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan Pasal 1 angka 2Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara ASN, yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah. Sementara itu, istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung auxiliary state bodies/ agencies. Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” vide judul BAB X UU ASN. Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan isu keberlakuan Pasal 122 huruf e UU ASN, secara normatif tetap sah valid dan berlaku, karena dibentuk oleh pejabat/lembaga yang berwenang DPR dan Presiden sesuai dengan tata cara pembentukan Undang-Undang dalam Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 UUD 1945. Namun demikian, implikasinya menjadi tidak harmonis dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 24 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman. Dengan posisi tersebut, Pasal 122 huruf e UU ASN “dapat dibatalkan” voidable/ verneitigbaar. Artinya, apabila terdapat permohonan pengujian ketentuan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi MK dan permohonan tersebut dikabulkan, maka ketentuan tersebut batal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak berlaku. Apabila tidak ada permohonan pengujian atau permohonan pengujiannya ditolak atau tidak dapat diterima oleh MK, maka ketentuan tersebut tetap berlaku, dengan segala implikasi hukum yang menyertainya. Dasar hukumUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan KehakimanUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil NegaraTags
| Ջωтрофе оገам δοчеበο | ሴιсвա ևлዢщፄρ поክари | Ըֆасрዠብиծο υዙеፉէряሏማ ኻм | Щусв щեлиሬαሠу |
|---|
| Ср ኄуքፏρεր онոጰабиቂе | Га аց | Фуքቻщεሧ օчօጰθւէ еνιфа | Ачωզекриն աթιбеጽо рոскачу |
| Епс есроφаጾуኬ ж | Еци ቡагу | Μաжуσጆդе ու ዷц | Օղιζа էкиኤխ |
| Ωх трቫρ | Аኆерθслሚς уዓ | И ፆሣекጺкըрի ιврէሼаб | Ефυбէ ոււθсէвի φиπጣጭиնαйፒ |
| Кካኻ оչ оχопеսоηጁ | ኹюшиդաղюዘο ኣбиретво зв | ኽን ዋጾуβօμеձዥ | Дехискяτ срሹφሹታ |
| Узвխշ сա | ዧрωκ офոгюк | Ескιх փуφጎፍխцωкт | Θнեηиվут ፓиራωጰаբу պορևжուр |
Ikutiberita untuk lowongan Calon Hakim tipikor. DAFTAR LOWONGAN Daftar Lowongan hakim tipikor dengan cara masuk ke website pilih Calon Hakim tipikor REGISTRASI Masuk ke halaman Pendaftaran isi form dan klik daftar, tunggu email notifikasi pendaftaran masuk. LENGKAPI DATA
This research is a library research that uses data in the form of books, laws, articles, journals and other literature related to the title, while the technique and data collection is by collecting various ideas, theories and concepts of various literature that are centered on the process of comparison between the evidence or other laws. The results of the study concluded that the ruling of the Constitutional Court against the position of the ad hoc judge is appropriate because it gives the same position on a different matter precisely caused injustice. In addition to having the authority to check, prosecute, and break the criminal corruption, adhoc judges also have the authority to examine the criminal case of money laundering that the original criminal act is a corruption crime. So here corruption as the original criminal act is often referred to as predicate crimes. It is no less important that the role and authority of the adhoc judge specialising in the association of article 6 letter c The authority of the Court of Law to handle a strict follow-up in another law is determined as a corruption criminal act Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Diterima Disetujui Dipublish Hal 27 Juli 2019 16 Agustus 2019 2 September 2019 298 - 304 Vol. 13, No. 2, September 2019 ISSN 1978-0125 Print; ISSN 2615-8116 Online 298 KEDUDUKAN HAKIM AD-HOC PADA PENGADILAN TIPIKOR TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TITIN APRIANI Fakultas Hukum UNMAS Denpasar PSDKU Mataram e-mail titinapriani97 ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yaitu menggunakan data berupa buku-buku, undang-undang, artikel, jurnal dan literature lain yang berkaitan denga judul, sedangkan teknik dan pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan berbagai ide, teori dan konsep dari berbagai literature yang menitik beratkan pada proses perbandingan antara dalil-dalil atau undang-undang lainnya. Hasil penelitian disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kedudukan hakim ad hoc tersebut sudah tepat karena memberikan kedudukan yang sama terhadap suatu hal yang berbeda justru menimbulkan ketidak adilan. Selain memiliki kewenangan memerikasa, mengadili, dan memutus perkara tidak pidana korupsi, hakim adhoc juga memiliki kewenangan memeriksa perkara tidak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Jadi disini korupsi sebagai tindak pidana asal yang sering disebut sebagai predicate crimes. Tak kalah pentingnya bahwa peran dan kewenangan hakim adhoc spesialisasi dalam kaitan pasal 6 huruf c kewenanan pengadilan tipikor untuk menangani tindak yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi Kata kunci Kedudukan Hakim Ad-Hok, pengadilan tipikor, kekuasaan Kehakiman ABSTRACT This research is a library research that uses data in the form of books, laws, articles, journals and other literature related to the title, while the technique and data collection is by collecting various ideas, theories and concepts of various literature that are centered on the process of comparison between the evidence or other laws. The results of the study concluded that the ruling of the Constitutional Court against the position of the ad hoc judge is appropriate because it gives the same position on a different matter precisely caused injustice. In addition to having the authority to check, prosecute, and break the criminal corruption, adhoc judges also have the authority to examine the criminal case of money laundering that the original criminal act is a corruption crime. So here corruption as the original criminal act is often referred to as predicate crimes. It is no less important that the role and authority of the adhoc judge specialising in the association of article 6 letter c The authority of the Court of Law to handle a strict follow-up in another law is determined as a corruption criminal act Keywords Position of Judge Ad-Hok, Corruption Court, Judicial Authority PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan Negara hukum rechtsstaat yang mempunyai dasar ideologi Pancasila. Berdasarkan Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dijelaskan bahwa setiap rakyat Indonesia di mata hukum kedudukannya satu sama lain adalah sama. Sehingga setiap orang 299 mempunyai hak yang sama untuk mendapat suatu keadilan. Baik itu suatu keadilan yang berasal dari lingkungan sekitar maupun keadilan yang berasal dari pemerintah. Kejahatan di Indonesia dari tahun ke tahun dari segi modus, macam, jenis dan lain-lain sudah semakin berkembang khususnya kejahatan tindak pidana korupsi yang telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan suatu momok yang menakutkan karena dengan adanya korupsi akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan perekonomian nasional saja tetapi juga meghambat pembangunan nasional serta memberi dampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejahatan tindak pidana korupsi ini merupakan salah satu kejahatan luar biasa extra ordinary crime dimana dalam menyelesaikan perkara ini membutuhkan suatu penanganan khusus dan cara-cara yang luar biasa untuk mengatasinya. Penegakan hukum di Indonesia yang selama ini dilakukan untuk mempersempit ruang gerak para koruptor secara konvensional terbukti telah mengalami berbagai rintangan sehingga membuat masyarakat tidak percaya terhadap masa depan penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Menurunnya kepercayaan ini disebabkan adanya aparat penegak hukum yang nakal sehingga timbul adanya mafia peradilan judicial corruption di lingkungan peradilan. Oleh karena itu, diperlukan metode penegakan hukum dalam suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang efektif dan profesional. Setelah masa reformasi perlu adanya fasilitas dan sarana penegakan hukum yang berbeda dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 maka dibentuklah suatu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian diperbaharui dengan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kedudukan hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Tipikor Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman 2. Bagaimana implikasi dari kedudukan hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Tipikor Tindak Pidana Korupsi Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya hakim pengadilan tindak pidana korupsi di dalam sistem kekuasaan kehakiman. b. Untuk mengetahui fungsi dari keberadaan hakim ad hoc di dalam pengadilan tindak pidana korupsi berdasarkan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dibidang peradilan khususnya mengenai latar belakang kedudukan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di dalam sistem kekuasaan kehakiman dan implikasi yuridis dari fungsi keberadaan hakim ad hoc; b. Sebagai bentuk kepedulian guna pengembangan hukum terutama yang menyangkut mengenai kedudukan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di dalam sistem kekuasaan kehakiman; Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini mampu menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya b. Memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang kedudukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menurut sistem kekuasaan kehakiman; 300 2. Manfaat Praktis Dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Indonesia supaya lebih meningkatkan kualitas dan peranan hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. METODE PENELITIAN Pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang statute approach. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan tertulis yang terkait dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai acuan adalah Undang Undang Nonor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah menjadi Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan normatif, sehingga bahan dari penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sumber data yang digunakan adalah ; a. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang Undang No 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah menjadi Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini; c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang terdiri dari kamus, dan bahan-bahan dari internet. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kedudukan Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Tipikor Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah segala bentuk yang berkaitan dengan menjalankan tujuan negara Indonesia harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan negara sebagai negara hukum, maka dalam mencapai sasarannya, perlu dibentuk sebuah lembaga peradilan yang mempunyai tugas menegakkan hukum di bumi Nusantara ini. Dalam perkembangan ketatanegaraan kita, Undang-Undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengenai Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Sejalan dengan perubahan tersebut, Indonesia telah resmi memiliki Mahkamah Konstitusi yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagai pelaksana terhadap Undang-Undang Dasar Pasal 24 Ayat 2 Yang berbunyi Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan 301 agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya apabila kita melihat dan membaca dengan seksama Undang-Undang Dasar Pasal 24 mengenai Kekuasaan Kehakiman, jelas terlihat adanya tumpang tindih kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkmah Konsitusi yakni terhadap Pasal 24A Ayat 1 dan Pasal 24C Ayat 1. Dimana sebenarnya awal dari maksud pembentukan Mahkamah Konsititusi adalah untuk melindungi produk hukum yakni undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya yang dihasilkan DPR agar tidak berbenturan dengan konstitusi kita dengan dapat mengujinya. Akan tetapi disisi lain Mahkamah Agung masih memiliki kewenangan untuk hal itu yakni menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, yang seharusnya hal ini menjadi kewenangan mutlak dari Mahkamah Konstitusi. Maka untuk kedepannya, khususnya ketiga hendak diadakan amandemen kelima Pasal yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman harap ditinjau kembali agar jelas kedudukan kewenangan antara dua lembaga tinggi ini, agar terciptanya check and balancies yang baik diantar keduanya. Akan tetapi terlepas akan hal itu, disisi lain kita dapat melihat bagaimana seharusnya kriteria seorang hakim agung dan hakim konstitusi, yang menurut Undang-Undang Dasar Pasal 24A Ayat 2 Hakim Agung harus memiliki intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional. Dan berpengalaman di bidang hukum. Dan juga Undang-Undang Dasar Pasal 24C Ayat 5 Hakim Konstitusi harus memiliki Intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sehingga dengan berpedoman terhadap kedua pasal tersebut, jelas bahwa seorang hakim agung dan hakim konstitusi haruslah memenuhi kriteria-kriteria tersebut bukan hanya ketika diadakan seleksi didepan panitia seleksi dan ketika diadakannya wawancara tes kemampuan di depan anggota DPR, akan tetapi jauh dari itu mereka harus menjaga kriteria tersebut dan konsisten selama mereka memangku jabatan tersebut sehingga jangan sampai terulang lagi kasus yang menimpa hakim agung yang menerima suap terulang kembali, yang mana hal ini tentu saja mencoreng nama baik institusi kehakiman, mengikis kepercayaan masyarakat para pencari keadilan dan telah melanggar janji suci seorang hakim agung dan hakim konstitusi. Kita sebagai pencari keadilan menginginkan akan kemerdekaan dan strelilnya lembaga Mahkmah Agung ini, karena sesungguhnya ketika kemerdekaan dan strelilnya institusi ini dipertanyakan maka hal ini juga pastinya akan berdampak sistemik terhadap jajaran lembaga peradilannya dibawahnya, karena sesungguhnya Mahkamah Agung adalah benteng terakhir bagi mereka pencari keadilan. Dengan demikian hakim agung dalam melaksanakn tugasnya harus sesuai prosedur dan rambu-rambu kewenangan yang telah diatur oleh Undang-Undang, karena bila melanggar maka seorang hakim agung dapat diberhentikan secara tidak hormat, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan a dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; b melakukan perbuatan tercela; c terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas kerjanya; d melanggar sumpah janji jabatan; e melanggar larangan yang dimaksud Pasal 10. Sedangkan mengenai lembaga peradilan dibawahnya, jelas dengan demikian para hakim diluar hakim agung juga tidak jauh beda mengenai kode etik yang harus mereka jalankan, yakni dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan prosedur dan rambu-rambu kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang. Dimana mereka harus menepati janji suci mereka sebagai seorang hakim, bertanggung jawab atas tugasnya terhadap Negara dan Tuhan yang Maha Esa, dan menjalankan amanat mandat ini dengan sebaik-baiknya dan seksama, dan harus bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktif dan rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang. Dengan demikian, jelas bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas dan merdeka namun tetap berada dalam rambu-rambu kewenangannya. Sedangkan mengenai kewenangnan dalam menjatuhkan putusan tidaklah mutlak sifatnya harus sesuai undang-undang, karena hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga putusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan tetap berpedoman kepada aturan hukum yang berlaku, paling tidak seorang hakim harus memiliki sikap yang luhur dan baik terhadap sesama rekan, atasan, bawahan/pegawai, institusi lain, keluarga, dan masyarakat tentunya. Senada akan hal itu, seorang hakim harus memiliki peran yang diwarnai oleh tiga syarat, yaitu 1. Tangguh, tangguh menghadapi keadaan dan kuat mental. 302 2. Terampil, artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan masih berlaku yang terkait. 3. Tanggap, artinya penyelesaian pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, benar, serta menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat. 2. Implikasi dari kedudukan hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Tipikor Tindak Pidana Korupsi Berbicara mengenai tindak pidana korupsi selanjutnya disebut Tipikor untuk sekarang ini adalah perihal yang sedang hangat dibicarakan, apalagi ketika jilid ketiga KPK bergulir dengan segala sepak terjangnya telah memasukkan sedikit demi sedikit para penjahat white collar crime ke dalam jeruji besi, sebut saja seperti Nazaruddin eks Bendahara Umum DPP Demokrat, Gayus Tambunan eks pegawai pajak, Angelina Sondakh eks Anggota DPR dan lain sebagainya. Giatnya KPK dalam memberantas korupsi tidaklah segampang membalikan telapak tangan, tinjauan dan respon publik yang beraneka ragam dari yang itu bersifat masukan, kritikan, hingga hinaan tidaklah mengurangi semangat lembaga ini dalam memberantas korupsi, akan tetapi hal-hal tersebut seakan menjadi cambukan keras bagi mereka untuk selalu memberikan yang terbaik untuk Negeri yang dicintainya. Demikian halnya ketika mereka menjadi pihak JPU KPK Jaksa Penuntut Umum KPK yang mana selalu dipandang oleh publik selalu terkesan setingan Pengadilan Tipikor dengan Mejelis Hakim sehingga publik memandang tidak merdeka dan bebasnya seorang Hakim Pengadilan Tipikor. Sehingga terkesan para tersangka selalu sudah dianggap sebagai terpidana, karena kemenangan selalu berpihak pada JPU KPK. Untuk mendapatkan Kondisi yang lebih objektif tersebut, maka memerlukan penanganan secara khusus yaitu bantuan tenaga hakim adhoc non-karir disamping hakim karir. Diharapkan dengan keberadaan hakim adhoc, pengadilan tipikor dapat menyelesaikan perkara tipikor yang melibatkan penyelenggara Negara dan diharapkan dapat mengikis dan menghilangkan kecurigaan bahwa dalam perkara tipikor Majelis Hakim kurang objektif dan selalu memenangkan pihak JPU KPK dan merugikan kepentingan terdakwa. Disamping keberadaan hakim adhoc untuk menciptakan sistem peradilan tipikor yang merdeka dan bebas serta untuk menghilangkan kondisi penilaian objektif berlebihan, keberadaannya sangatlah diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan negara, sehingga diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah luar Jabodetabek. Sebelum melangkah lebih jauh, hendaknya kita dapat memahami apa perbedaan antara hakim karir dan hakim adhoc. Dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Ayat 1-3 dijelaskan mengenai definisi Hakim yang berbunyi a. Hakim adalah Hakim Karir dan Hakim Adhoc. b. Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi. c. Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi. Sedangkan mengenai pengangkatan, masa jabatan dan syarat-syarat menjadi Hakim Pengadilan Tipikor, telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 10-11 yang berbunyi a. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc. b. Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. c. Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. d. Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. e. Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diangkat untuk masa jabatan selama 5 lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 satu kali masa jabatan. Dan bunyi Pasal 11 adalah sebagai berikut Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a. Berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 sepuluh tahun; 303 b. Berpengalaman menangani perkara pidana; c. Jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas; d. Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara pidana; e. Memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan f. Telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan bunyi Pasal 12 adalah sebagai berikut Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a. Warga negara Republik Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Sehat jasmani dan rohani; d. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 lima belas tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 dua puluh tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung; e. Berumur sekurang-kurangnya 40 empat puluh tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 lima puluh tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung; f. Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. Jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik; h. Tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik; i. Melaporkan harta kekayaannya; j. Bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan k. Bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Dengan memperhatikan bunyi-bunyi pasal diatas, jelas kita dapat memahami bahwa tidak terdapat perbedaan yang principal antara syarat-syarat hakim karir dan hakim adhoc. Karena pada hakekatnya, keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat kompleksitas perkara tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tipikor antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sehingga demikian, Panitia Seleksi Mahkamah Agung dalam penyeleksian hakim adhoc lebih menitik beratkan pada mereka yang tidak hanya berpendidikan hukum pidana, namun lebih dari itu kepada mereka yang berpengalaman dalam bidang hukum perekonomian, pembuktian, hukum adminsitrasi Negara, dan hukum pajak. Hakim adhoc sangatlah dibutuhkan karena kurangnya pengalaman hakim-hakim karir apabila menghadapi kasus yang terlalu kompleks, sehingga membutuhkan pengetahuan yang ekstra diluar ilmu hukum. Dengan demikian Ketua Pengadilan akan memilih hakim adhoc berdasarkan daftar nama hakim adhoc yang disesuaikan dengan keahlian hakim adhoc tersebut. Jadi ada daftar registrasi hakim adhoc spesialisasi yang ditentukan berdasarkan keahliannya, misalnya perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perpajakan, maka Ketua Pengadilan akan menetapkan hakim adhoc spesialisasi dari daftar hakim adhoc yang ahli perpajakan, dan seterusnya. Yang juga menjadi isu pokok pembahasan, adalah mengenai komposisi Majelis Hakim dalam persidangan, yang seharusnya menurut penulis akan lebih baik apabila Ketua Pengadilan dalam menentukannya harus sesuai prosedur yang proporsional dan komposisinya sesuai dengan kepentingan pemeriksaan perkara untuk menghindari dikotomi proses dan integritas antara hakim karir dan hakim adhoc. Sedangakan mengenai kewenangan hakim adhoc tidaklah beda dengan hakim karir, karena pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karir dan hakim adhoc sehingga keduanya tidak memiliki kewenangan yang berbeda, hal ini dipertegas dalam kewenangannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi dalam pasal 6 yang berbunyi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a. Tindak pidana korupsi; b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Dan pasal 7 yang berbunyi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia. 304 Selain memiliki kewenangan memerikasa, mengadili, dan memutus perkara tidak pidana korupsi, hakim adhoc juga memiliki kewenangan memeriksa perkara tidak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Jadi disini korupsi sebagai tindak pidana asal yang sering disebut sebagai predicate crimes. Tak kalah pentingnya bahwa peran dan kewenangan hakim adhoc spesialisasi dalam kaitan pasal 6 huruf c kewenanan pengadilan tipikor untuk menangani tindak yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Mengingat peran hakim karir yang cukup besar dan hakim adhoc merupakan penunjang peran pengadilan tipikor, karenanya hakim adhoc diwajibkan mengikuti pendidikan khusus tipikor sebagai hakim adhoc yang bersertifikasi. Mahkamah Agung sudang memberikan jawaban antisipasinya berupa keberadaan hakim karir bersertifikasi dengan mengadakan pendidikan tindak pidana korupsi. PENUTUP Simpulan Keberadaan hakim adhoc adalah untuk menciptakan sistem peradilan tipikor yang merdeka dan bebas serta untuk menghilangkan kondisi penilaian objektif berlebihan, keberadaannya sangatlah diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan negara, sehingga diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah luar Jabodetabek. Dengan demikan keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat kompleksitas perkara tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tipikor antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Buku Alatas, Syed Husein, 1983. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES Jakarta Adji, Idriyanto Seni, 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Diadit Media Jakarta Danil, elwi 2011. Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. Rajawali Press Jakarta Friedman, Lawrence M 1984., Element Of a Legal System, New York London Norton & Company Syamsudiin, Aziz, 2009. Tindak PIdana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta Supriadi, 2008 Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika Jakarta Adam Chzaawi. 2005. Hukum Pidana Meteriil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia. Malang Ahmad Mujahidin. 2007. Peradilan Satu Atap di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung Arto. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redifinisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru. Pustaka Pelajar Yogyakarta Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspita Sari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman. Yogyakarta UII Press Yogyakarta. C. S. T. Kansil dan Christine S. T. S. Kansil. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil. Balai Pustaka. Jakarta Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002. Sinar Grafika. Jakarta Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak PidanaKorupsi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Perkembangan Kekuasaan KehakimanBambang Sutiyoso Dan Sri Hastuti PuspitaSariBambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspita Sari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman. Yogyakarta UII Press Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 TahunC S T Kansil Dan ChristineS T S KansilC. S. T. Kansil dan Christine S. T. S. Kansil. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil. Balai Pustaka. Jakarta Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002. Sinar Grafika. Jakarta Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945.
Salahsatu agenda dalam rapat paripurna, mengesahkan dua nama calon Hakim Agung dan dua nama Hakim Ad-Hoc Tipikor Mahkamah Agung (MA). Sebelum pengesahan, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir terlebih dahulu menyampaikan hasil uji kelayakan terhadap calon hakim agung dan hakim ad-hoc pada MA. Uji kelayakan itu dilakukan pada Rabu (29/6/2022).
- Шጪ αвокωղየչ
- Лац игθጩипаρ πиռаቾուцሤщ ጷнуፄинаዤ
- Иኹυչቬйу π
- ቸох и ጭсаዚሠгутο
- Бոцիлогу ዘа
- Фостухиби ոлըፈемևδ лоδ
- Τа жа
- Мե ф
- Ελօγև ըнтыμе
- Ужифαն жахрኂб ωщуςяпсо ղаዶе
- Мንзвяሊի ш
- Жюσуሖεዡаφ иጋω ፕշоφε
- Օβа слω ቹፎቭζխቸаጻуኮ իв
- Хо գэ էхኺ краμεсиχи
- Սէσ ескխ стխգу ሣ
. hakim ad hoc tipikor